Kejang dalam kehamilan :: hampir saja tak tertolong
Karena hari ini adalah lahirnya bayi kembar mereka, berat 2300 gram dan 1900 gram.
Peristiwa kelahiran kedua bayi mereka dimulai dengan kejangnya Ny. F saat kehamilannya mencapai usia kehamilan cukup bulan.
Tn. M yang panik, langsung membawa istrinya ke bidan praktek terdekat (tanpa membawa apapun, hanya baju yang melekat)
Bidan praktek yang saat itu sedang menangani persalinan, langsung meninggalkan pasiennya, dan mengantar Ny. F dan suaminya Tn. M ke Puskesmas terdekat.
Di Puskesmas itu, dalam waktu 30 menit, perawat, bidan dan petugas kesehatan yang bertugas langsung memberikan penanganan.
Obat anti kejang diberikan dan stabilisasi dilakukan sebelum melakukan perujukan dengan ambulans ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).
Tim RSUD sudah mengetahui bahwa ada pasien hamil yang kejang sedang diberangkatkan ke tempat mereka bertugas.
Beberapa menit sebelum pasien sampai, bagian unit gawat darurat, kamar bersalin dan kamar operasi sudah mengetahui bahwa pasien ini membutuhkan operasi segera.
Pasien kejang dalam kehamilan membutuhkan tindakan operasi sesar segera untuk menyelamatkan janin dan juga nyawanya sendiri.
Saat ini, kabar terbaru adalah pasien sudah pulih kesadarannya setelah operasi – dan memasuki ruang perawatan ibu.
Ini bukan cerita rekaan, karena saya ada sendiri pada saat peristiwa ini terjadi.
Siang itu saya sedang berada di Puskesmas, dengan agenda kunjungan bertemu dengan kepala Puskesmas dan bidan koordinator terkait program penyelamatan ibu melahirkan.
Tidak lama setelah kami membicarakan agenda untuk bulan yang akan datang, pasien Ny. F ini datang bersama suaminya.
Ini adalah kehamilan pertama, kata Tn. M yang baru berusia 18 tahun.
Ny. F yang juga berusia 18 tahun, datang dengan kejang, yang sebelumnya tidak pernah dialami saat kontrol kehamilan di Rumah Sakit terdekat.
Setelah pemberian obat antikejang (Magnesium Sulfat) dengan dosis awalan, Puskesmas menyiapkan rujukan segera ke RSU- dan menghubungi tim RSU untuk kesiapan mereka.
Tn. M yang tidak membawa uang atau baju ganti (saya lihat ternyata kaki nya pun tidak memakai sendal/ sepatu) dianjurkan memakai Jampersal supaya semua pembiayaan ditanggung negara.
Pasien dan suami langsung berangkat dengan Puskesmas ke RSU, biaya operasi, perawatan, ambulans akan ditanggung oleh Jampersal- karena kasus ini merupakan kehamilan dengan komplikasi/ penyulit, yang memang harus ditangani pada fasilitas kesehatan setingkat RSU.
Ini mungkin salahsatu kisah sukses dari kasus maternal.
Ibu dan kedua bayinya berhasil terselamatkan.
Bapak dan keluarganya juga terbantu dengan adanya Jampersal.
Faktor kesuksesan ini tergantung dari banyak hal, antara lain :
1. Suami mengetahui bahwa kejang adalah tanda bahaya dalam kehamilan, sehingga langsung membawa istrinya ke bidan desa.
2. Bidan desa mengetahui bahwa kejang dalam kehamilan membutuhkan penanganan segera dan tidak mungkin menangani sendirian, sehingga merujuk ke Puskesmas.
3. Tenaga kesehatan di Puskesmas bergerak sebagai sebuah tim yang menangani kasus dengan cepat, memberikan penanganan awal dan menyiapkan rujukan ke level yang lebih tinggi (RSU).
4. Tim di RSU mengetahui kasus rujukan lebih awal, sehingga mampu menyiapkan tindakan apa yang harus dilakukan (termasuk menyiapkan kamar operasi, memanggil dokter spesialis Obgyn dst)
5. Ambulans yang membawa pasien rujukan tiba sesuai waktu, pasien didampingi bidan dari Puskesmas yang merujuk.
6. Pembiayaan dengan Jampersal membuat suami pasien tidak usah menunggu lama untuk persyaratan administrasi/ membuat keputusan segera demi menyelamatkan nyawa istri dan bayinya.
Faktor ini tidak selalu berkaitan dengan hal medis, bahkan lebih kepada teknis.
Contohnya, poin #1 , 5, dan 6 tidak berkaitan dengan kompetensi medis.
Poin #1 penting untuk disosialisasikan dalam tingkat komunitas, contohnya di mesjid, posyandu, pertemuan RT/RW, iklan layanan masyarakat (koran, TV, radio).
Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia saat ini masih tertinggi di Asia Tenggara.
Sebagian besar kasus kematian ibu terjadi sekitar masa persalinan, yang intervensi/ penanganannya sudah diketahui caranya (widely known).
Yang penting diketahui masyarakat bahwa adanya tanda bahaya dalam kehamilan (perdarahan, kejang, panas/ demam, bau dari jalan lahir) perlu ditangani segera, sehingga ibu tidak telat dibawa ke fasilitas kesehatan.
Poin #5 berkaitan dengan kendaraan/ fasilitas untuk proses rujukan.
Fungsi Ambulans sebagai kendaraan untuk merujuk erat kaitannya dengan supir, bensin, dan juga infrastruktur jalan.
Bayangkan bila infrastruktur jalan tidak ada atau keadaan geografis yang sulit (seperti di Indonesia bagian timur) akibatnya kasus kehamilan dengan komplikasi lambat ditangani.
Faktor sistem jaminan kesehatan atau pembiayaan kesehatan, seperti Jamkesmas atau Jampersal memang dirancang untuk mereka dari kalangan sosio-ekonomi lemah.
Banyak keputusan diambil berkaitan dengan keadaan ekonomi, contohnya, suami yang takut biaya kontrol kehamilan ke Puskesmas mahal bisa saja menganjurkan istrinya cukup memeriksakan ke dukun. (Keputusan finansial biasanya diambil oleh suami).
Sayangnya, kenyataan di lapangan, ‘porsi’ atau jatah bagi mereka dari keluarga miskin juga diambil oleh orang-orang yang sesungguhnya mampu membiayai persalinan dengan alasan ‘mending ambil yang gratis daripada bayar‘.
Sebelum pulang dari RSU, saya menjumpai sang suami (yang masi abege) duduk di tangga (nunggu istrinya selesai operasi).
Sambil mengabarkan kondisi istrinya dan juga menganjurkan untuk segera memakai alat KB. Usia kehamilan yang terlalu muda (dibawah 20 tahun) menyebabkan istrinya rawan akan komplikasi saat hamil.
Merencanakan kehamilan dengan kontrasepsi/ alat KB juga perlu supaya kehamilan berikut berjarak paling tidak 2 tahun, agar bayi yang dilahirkan kondisinya baik dan bisa bertahan hidup.
Ini saat yang tepat untuk memotivasi pasangan (untuk pemasangan alat KB) apalagi sang suami mendampingi sendiri istrinya disaat kejang, berjuang melawan maut.
Ny. F termasuk beruntung bila luput dari salahsatu penyebab kematian ibu karena kesigapan petugas, sistem kesehatan yang berjalan baik.Tapi masih ada banyak ibu hamil dan bayi yang meninggal karena lemahnya faktor pendukung medis maupun non-medis tsb.
Kita, petugas kesehatan berdiri di garis depan untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi.
Tapi kami juga memerlukan dukungan masyarakat karena ini merupakan tugas kita bersama.
Masyarakat bisa membantu dengan :
* Pemberian informasi bahwa setiap kehamilan dapat beresiko, oleh karena itu setiap persalinan hendaknya dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten, didukung fasilitas kesehatan.
* Dukungan dari tokoh agama dan tokoh masyarakat, bahwa pembuat keputusan (suami, keluarga ; ibu mertua, bapak mertua) harus mengetahui keadaan gawat darurat saat kehamilan/ persalinan harus ditangani segera. Tidak bisa menunggu lama karena taruhannya nyawa.
* Sistem pembiayaan Jampersal mengutamakan mereka yang berasal dari status sosio-ekonomi lemah (keluarga miskin/ tidak mampu).
Jangan lah mengambil hak mereka jika kita mampu membiayai persalinan sendiri.
Banyak orang mampu mencicil motor/ mobil, tapi untuk punya bayi/anak koq pengennya gratisan.
Apakah motor/mobil kita lebih berharga daripada anak, sehingga kita tidak mau mengeluarkan biaya untuk kelahirannya?
* Perencanaan kehamilan penting supaya ibu terhindar dari resiko tinggi saat hamil/ melahirkan dan bayi yang dilahirkan sehat (keturunan yang berkualitas).
Kehamilan yang ideal hendaknya usia ibu diatas 20 tahun (terlalu muda dapat menyebabkan banyak komplikasi), dan diberi jarak paling sedikit 2 tahun dari kehamilan sebelumnya.
Kehamilan yang terlalu sering (jumlah anak lebih dari 5) juga merupakan faktor resiko untuk hipertensi dan perdarahan setelah melahirkan (postpartum hemorage) dan bayi yang dilahirkan biasanya kecil (low birth weight) serta rentan terhadap gagal nafas juga infeksi.
Hal lain yang menurut saya tidak kalah pentingnya adalah, pemerintah harus menginvestasikan pada pendidikan kaum perempuan/ calon ibu.
Sama seperti visi RA Kartini, pahlawan kita dan tokoh panutan saya, bahwa jika wanita diberi pendidikan yang layak maka akan terlahir keturunan yang berkualitas, secara fisik, mental dan spiritual.
Buat apa Indonesia mempunyai jumlah penduduk yang banyak, tapi terjajah oleh kebodohan dan kemiskinan ?
Perempuan (ibu) dengan HIV jangan takut hamil !
pil ARV harus dikonsumsi seumur hidup bagi orang dengan H
Alat kontrasepsi :: Perlukah ?
Dahulu pada jaman kakek-nenek kita mungkin sering terdengar ungkapan:
‘Banyak anak banyak rejeki’
Sebuah keluarga lazim memiliki jumlah anak lebih dari sepuluh, karena pada jaman selepas kemerdekaan Indonesia memang dibutuhkan jumlah penduduk yang banyak untuk pembangunan.
Tetapi di jaman sekarang, apakah ungkapan seperti itu masih relevan?
Sekarang sudah jarang ada sebuah keluarga yang memiliki jumlah anak lebih dari lima.
Banyak orang menyadari bahwa memiliki jumlah anak banyak berarti memiliki pengeluaran lebih banyak juga.
Seiring dengan tumbuhnya kesadaran masyarakat akan jumlah keluarga yang lebih kecil, maka meningkatlah juga kebutuhan pasangan akan alat kontrasepsi atau yang dikenal dengan alat KB.
Banyak pendapat pro dan kontra seputar penggunaan alat kontrasepsi.
Bagi yang pro, mereka akan berpendapat kalau penggunaan alat kontrasepsi atau yang sering disebut alat KB merupakan salahsatu cara untuk ‘mengendalikan’ alat reproduksi agar dapat membatasi jumlah anak dan juga memberi rentang periode kehamilan dari satu kelahiran dan kelahiran berikutnya.
Keuntungannya, jika jumlah anak dibatasi tentu diharapkan ada peningkatan kualitas hidup dari anak tersebut.
Umumnya, orangtua dengan jumlah anak yang sedikit tentu dapat lebih memfokuskan perhatiannya, memberikan akses pendidikan, kesehatan, dan penghidupan yang layak kepada anaknya dibandingkan dengan orangtua dengan jumlah anak yang banyak.
Tapi bila ukurannya hanya materi, tentulah kita bisa beranggapan bahwa mereka dari keluarga kaya boleh mempunyai jumlah anak banyak (selama mampu membiayai) sedangkan mereka yang dari keluarga miskin sebaiknya tidak mempunyai anak banyak.
Sayangnya dalam dunia nyata, yang terjadi sering kebalikannya.
Mereka yang berasal dari keluarga kaya, umumnya mampu menginvestasikan dana untuk pendidikan.
Dan anak-anak dari menempuh pendidikan lanjut (SMA, Sarjana, Magister) umumnya memilih untuk menikah dan mempunyai anak di usia yang lebih matang, dibanding mereka yang tidak menempuh pendidikan lanjut.
Sedangkan mereka yang berasal dari keluarga miskin, umumnya tidak mampu menyekolahkan anaknya ke tingkat yang lebih lanjut.
Bagi anak perempuan dari golongan ekonomi lemah, sering pilihannya jika tidak bersekolah berarti menikah dan mempunyai anak di usia muda.
Pernikahan di usia muda pada masa reproduksi yang masih panjang juga berakibat jumlah anak yang semakin banyak, jika tidak dibatasi oleh penggunaan alat kontrasepsi.
Acapkali bagi mereka yang berasal dari golongan ekonomi kurang, penggunaan alat kontrasepsi tergolong mahal (hanya pil KB yang disubsidi oleh pemerintah di tingkat Puskesmas) terutama bila ingin menggunakan alat KB yang lebih mantap (IUD, sterilisasi).
Golongan yang kontra, biasanya beralasan bahwa penggunaan alat KB berarti melanggar harkat seorang wanita atau tidak alamiah karena mengganggu fungsi normal tubuh wanita yang sudah seharusnya bereproduksi.
Ada juga yang merasa penggunaan alat KB melewati batas wewenang kita sebagai manusia, karena bukankah Tuhan yang mengatur segala sesuatunya, termasuk rejeki dan juga anak yang dikandung?
Kebutuhan untuk alat kontrasepsi sebenernya lebih mendesak pada mereka yang berasal dari golongan menengah kebawah.
Karena dengan bertambahnya jumlah anak dalam keluarga, akan semakin berkurang juga sumber daya yang dibutuhkan oleh anak lainnya. Akibat jangka panjangnya tentu bisa kebodohan dan kemiskinan.
Pemerintah Indonesia pada jaman Orde Baru pernah giat menyerukan kampanye tentang Keluarga Berencana.
Sejalan dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi pada bangsa Indonesia waktu itu, tentunya banyak keluarga ingin menambah jumlah anak.
Sayang sekali kampanye tentang Keluarga Berencana atau ‘Dua anak cukup’ jarang terdengar lagi setelah masa reformasi di tahun 1998.
Padahal waktu itu Indonesia mengalami krisis ekonomi yang cukup membebani masyarakat. Apalagi jika tidak ada subsidi alat kontrasepsi maka umumnya sebuah keluarga tidak memprioritaskan hal tersebut.
Pastilah kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang diutamakan, dibandingkan penggunaan alat KB.
Bulan Februari kemarin presiden Amerika Serikat, Obama, membuat suatu keputusan yang dianggap kontroversial oleh sejumlah golongan agama (dan umumnya partai Republikan).
Seperti dilansir dalam laporan di blog VoA tanggal 11 Februari dengan judul ‘Warga Katholik Prihatin, Obama Ubah Aturan Keluarga Berencana’ , Presiden US tersebut menyatakan bahwa perusahaan asuransi kesehatan wajib langsung menawarkan layanan KB kepada perempuan.
Keputusan tersebut mendapat reaksi negatif dari sebagian pihak yang merasa keberatan karena dianggap ‘melanggar hak-hak amandemen pertama tentang praktek keagamaan secara bebas’. (blog Voa 11 Feb 2012)
Menurut pendapat saya, ini suatu gebrakan yang berani dan patut mendapat apresiasi.
Sebagai seorang pemimpin, Obama pasti mengetahui ada pro dan kontra atas keputusan yang dia buat.
Tapi mengingat US sekarang juga dalam fase krisis ekonomi (mereka masi berbenah setelah krisis besar tahun 2008) dan juga jumlah pengangguran yang bertambah- maka keputusan membatasi jumlah anak TERLEBIH layanan tersebut ditanggung oleh asuransi kesehatan merupakan keputusan yang sangat strategis.
Dari Amerika Serikat, kita bisa tarik pelajaran berikut; Institusi keagamaan tadinya merasa ‘keberatan’ untuk menanggung pembiayaan terkait alat kontrasepsi, terlebih karena hal tersebut dianggap tidak sesuai dengan prinsip keagamaan yang dianut.
Tapi setelah melalui proses advokasi, pihak asuransi kesehatan (pemerintah) bersedia menanggung pembiayaan tersebut agar tercapai win-win solution.
Yang artinya, para wanita tidak kehilangan hak mereka atas layanan jika membutuhkan alat kontrasepsi DAN institusi keagamaan juga tidak merasa ‘dipaksa’ menuruti aturan tsb.
Untuk Indonesia, saya menunggu seorang pemimpin yang berani mengambil keputusan serupa 🙂
Akses terhadap informasi dan layanan atas alat kontrasepsi/ KB perlu dan wajib dinikmati oleh semua wanita Indonesia yang membutuhkan, terlebih jika mereka tidak mampu.
Bagi mereka yang tidak mampu, pemerintah harus bisa menyediakan layanan gratis (untuk alat kontrasepsi), ini memungkinkan jika alat KB tercakup dalam Jamkesmas / Askeskin, atau skema pembiayaan apapun yang memungkinkan mereka bebas dari beban finansial.
Karena sesungguhnya, dengan menginvestasikan pada alat kontrasepsi/ KB bisa jadi salahsatu solusi untuk dapat memutuskan siklus kemiskinan pada masyarakat.
Sumber gambar (diunduh dari website sbb):
smashinglists.com | visualphotos.com
Anak jalanan :: Salah siapa?
Kemarin saya dan ibu saya sedang berkendara menuju suatu tempat, lalu mobil kami berhenti tepat di depan perempatan karena lampu merah.
Muncul seorang ibu peminta-minta dan anaknya (usia sekitar 4-5 tahun) langsung ‘bekerja’ meminta sedekah kepada pengendara motor sekitar.
Ada yang memberi uang kecil, ada juga yang menolak mereka.
Ini adalah sebuah pemandangan biasa, yang dapat ditemukan di banyak perempatan lampu merah di kota Bandung.
Terlebih di perempatan besar di bawah jalan layang dekat tempat Rumah Sakit tempat saya berdinas (perempatan Pasirkaliki – Pasteur) bisa dilihat di sana dalam ‘kondisi normal’ ada gerombolan pengemis anak-anak, kadang ada juga orang dewasa nya, bercengkerama dengan pengamen/ anak jalanan lain, bersama-sama mencari nafkah di perempatan lampu merah.
Beberapa puluh meter dari perempatan itu ada Rumah Sakit milik pemerintah, yang merupakan pusat rujukan layanan kesehatan terbesar di provinsi Jawa Barat.
Disitu jugalah tempat saya dahulu menempuh pendidikan kedokteran dan bertugas sebagai peneliti di bidang kesehatan dan sosial selama beberapa tahun.
Sering saya bertanya-tanya dalam hati, pada perempatan lampu merah di bawah jalan layang itu pastilah banyak dilewati dokter-dokter seperti saya, bahkan mungkin mereka dokter Spesialis yang lebih senior lebih lama lagi lalu lalang di lokasi tsb dan bisa melihat perubahannya seiring dengan bertambahnya waktu.
Apa yang dipikirkan oleh mereka?
Apakah mereka memikirkan, bahwa pertambahan jumlah anak jalanan, pengemis, dan pengamen itu merupakan sesuatu yang wajar karena bertambah juga kesulitan ekonomi?
Atau, mengganggap hal tersebut wajar, karena toh itulah cara mereka mencari nafkah. Dari jalanan dan sedekah orang-orang?
Ataukah ada juga seseorang yang menganggap hal tersebut sebenarnya tidak wajar dan mengusik rasa ketidakadilan, sama seperti yang saya rasakan.
Beberapa tahun terakhir Indonesia merasakan pertumbuhan ekonomi yang signifikan, bahkan termasuk terbesar di Asia Tenggara.
Jumlah orang kaya dan menengah bertambah banyak (bisa kita lihat mall dan pusat perbelanjaan di kota besar selalu ramai hampir setiap hari). Sayangnya ada juga sebagian saudara kita yang hidupnya tidak bertambah baik.
Memang banyak reportase yang mengatakan bahwa pengemis yang meminta-minta di jalan itu belum tentu miskin.
Mereka kadang bisa mendapat penghasilan yang lumayan dibandingkan penghasilan seorang buruh, bahkan cukup untuk membangun sebuah rumah di kampung tempat asal mereka.
Di luar polemik untung-tidaknya berprofesi sebagai seorang pengemis, saya hanya ingin memusatkan perhatian saya pada anak jalanan.
Orang tua mereka mungkin hanya beranggapan anak-anak ini adalah sebuah ‘aset’, dapat membantu mereka mencari nafkah di jalan.
Karena orang umumnya lebih merasa iba dan kasihan kepada anak kecil daripada pengemis dewasa, misalnya.
Selain itu, tanyakanlah pada anak-anak ini.
Jika mereka bisa memilih, apakah ini jenis kehidupan yang mereka inginkan?
Apakah ada seorang anak yang memilih untuk besar di tengah jalan, di antara kepulan asap knalpot, dibawah terik matahari dan dinginnya hujan, dibandingkan anak-anak lain yang seusianya menikmati masa-masa prasekolah bersama saudaranya di rumah, bermain dengan sepedanya, atau belajar dengan cara sewajarnya?
Di mana hati nurani dan rasa kepedihan kita selama ini, mengganggap anak-anak ini adalah salah orangtua mereka, salah pemerintah, atau siapapun juga, selain kita.
Bukankah ketidakpedulian kita juga yang menyebabkan mereka bertambah banyak di jalanan?
Sayangnya, banyak orang memberi sedekah/ uang receh kepada anak-anak ini- HANYA supaya mereka merasa lebih baik dengan perasaan mereka sendiri.
Cobalah berikan uang 1000 rupiah kepada anak Anda, setiap kali dia melakukan sesuatu yang tidak Anda sukai: jika anak Anda memukul temannya, berikan uang 1000.
Saya yakin tindakan Anda memberikan ‘reward’ tersebut akan semakin memperkuat motivasi anak Anda supaya memukul temannya lagi di lain kesempatan.
Sama seperti memberikan uang ke anak jalanan, mereka akan mengerti bahwa orang dewasa ‘mengasihani’ mereka dan juga akan memberikan mereka ‘reward’ atas tindakan meminta-minta ini.
Uang receh inilah yang menjadi alasan bagi mereka untuk selalu turun ke jalan.
Ada banyak cara yang bisa kita lakukan, jika kita mau, tapi memberi uang kecil kepada anak jalanan bukanlah salah satu solusi yang terbaik.
Bisa dibilang ini adalah solusi yang ‘sementara’ untuk mengobati rasa tidak enak di dalam hati kita- karena kita melihat bahwa kita lebih beruntung daripada mereka.
Sebagai seorang petugas kesehatan dan juga praktisi di bidang kesehatan masyarakat, visi saya ingin membangun sebuah program/solusi yang berkelanjutan dan bukan hanya sekedar ‘obat merah’ untuk mengobati penyakit sosial mereka.
Mereka butuh diberi kail dan diajarkan cara memancing, bukan hanya diberi ikan.
Anak-anak jalanan hanyalah ‘anak-anak’ yang juga harus merasakan senangnya bermain, butuh pendidikan, akses terhadap layanan kesehatan, dan kesempatan untuk maju sama seperti anak-anak lainnya.
Kita bisa memilih untuk terus menyalahkan pemerintah karena tidak becus mengurus (atau mengusir) mereka, atau juga melakukan tindakan konkrit untuk menolong mereka ke penghidupan yang lebih layak.
Karena saya seorang wanita dan juga calon ibu, yang suatu saat akan mempunyai anak sendiri- saya bisa merasakan kalau seorang ibu biasanya ingin yang terbaik untuk anaknya.
Rasanya tidak ada seorang ibu pun yang saya kenal, kalau dia bisa memilih, ingin anaknya hidupnya menderita.
Ibu saya bilang, kalau bisa kehidupan anaknya lebih baik daripada kehidupan dia yang susah di jaman selepas kemerdekaan RI.
Atas dasar rasa kepedulian seorang ibu itulah, saya ingin menawarkan program ‘penggratisan’ alat kontrasepsi/KB kepada mereka yang tidak mampu.
Uraian lebih mendetail tentang kenapa bisa gratis dan alasan program ini berfokus pada alat kontrasepsi bisa dilihat di tulisan saya selanjutnya.
Tabungan Ibu
Punya ide untuk Indonesia?
Karena saya seorang dokter dan peduli sama kesehatan ibu (juga anak-anak) berikut solusi yang saya tawarkan untuk Indonesia.
Supaya mereka yang berasal dari kalangan ekonomi lemah juga punya akses ke layanan kesehatan!
Silakan lihat di link berikut:
http://www2.yourhealthandwellbeing.asia/indonesia/…tabungan-ibu-solusi-alternatif-untuk-pembiayaan-layanan-kesehatan
Public health itu seksi !
” Abis master ngapain ? Bakal praktek lagi ? ”
Itu dia pertanyaan orang-orang yang pengen tau gimana kelanjutannya setelah saya menyelesaikan program master selama 1 tahun.
Dengan latar belakang pendidikan dokter, tentu aja saya bisa kembali lagi ke negara asal (Indonesia) dan kembali praktek atau melanjutkan spesialisasi.
Tapi untuk saya, buat apa?
Kalau memang ingin terjun di bidang klinis, gak akan kemaren ‘ikut-ikutan’ sekolah master. Keukeuh lagi apply bidang yang paling banyak permasalahannya di Indonesia, yaitu health systems, management and policies = sistem, manajemen dan kebijakan kesehatan.
Menurut pendapat saya, sudah banyak dokter umum ataupun spesialis yang bertebaran di Indonesia. Istilah Sunda-nya mah ‘pabalatak‘.
Sayangnya proporsi tenaga kesehatan ini tidak merata, kebanyakan dokter dan tenaga kesehatan tentu aja lebih suka berdiam di kota-kota besar daripada di pedalaman atau kampung-kampung.
Kenapa? Jawabannya mudah. Karena dimana ada duit, disitu ada prakter dokter.
Mungkin itu jawaban yang terlalu vulgar.
Tapi biarlah, kan ini blog punya saya sendiri 🙂
Okeh, penjelasannya adalah : Karena sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia didominasi oleh sistem out-of-pocket.
Dalam sistem out-of-pocket (OOP) ini artinya biaya yang keluar untuk berobat kalo ke dokter, ditanggung oleh pasiennya sendiri.
Dampaknya sudah jelas, mereka yang punya duit akan cenderung bisa memilih dokter sendiri, memilih mau berobat dimana (ke Puskesmas, praktek dokter pribadi, atau langsung ke Rumah Sakit), juga bisa menentukan mau beli obat yang mahal atau menentukan mau periksa laboratorium dkk.
Pada intinya, kalo punya duit (dalam sistem OOP) artinya kita bisa mendapat pelayanan apapun.
Sebaliknya, kalau tidak punya uang?
Mereka yang tidak punya uang, atau yang penghasilannya terbatas (bahasa halusnya) harus memilih jalur alternatif. Yaitu berobat ke tempat yang lebih murah (biasanya dipilih Puskesmas), berobat ke dukun dulu (karena ke dokter mahal), atau mencoba mengobati sendiri. Inilah juga sebabnya kenapa banyak orang miskin suka telat berobat ke dokter (dan kalau sudah nyampe dokter biasanya kena marah lagi: ‘Pak, koq sakitnya nunggu parah gini baru ke dokter…’)
Itulah dia yang terjadi di banyak tempat di Indonesia.
Itulah juga sebabnya kenapa walaupun banyak dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tambah banyak, tapi tidak mencerminkan bahwa rakyatnya akan semakin sehat.
Karena banyak tenaga kesehatan tidak menjamin rakyatnya sehat jika,
SISTEM KESEHATAN NYA tidak dirubah,
juga MANAJEMEN kesehatannya tidak berubah,
ditunjang oleh KEBIJAKAN kesehatan yang menopang kedua perubahan tersebut.
Mungkin untuk sebagian orang ini teori yang terlalu sulit untuk dimengerti.
Tapi, teruslah membaca, akan saya coba jelaskan konsep ini pada Anda.
Pertama-tama, kita ambil sistem kesehatan di negara maju.
Siapa yang disebut negara maju? Bukan hanya negara yang pendapatan perkapitanya besar, tapi juga negara yang indikator kesehatannya bagus.
Artinya umur harapan hidupnya tinggi, juga angka kematian ibu dan anak yang rendah. Ini semua mencerminkan bahwa negara itu makmur, sehingga kelompok populasi rentan (orangtua, wanita, anak-anak) bisa menikmati pertumbuhan ekonomi negaranya.
Saya ambil contoh dua negara dimana saya pernah merasakan tinggal dan juga nyicip sistem kesehatannya, yaitu Belanda dan Denmark.
Di kedua negara ini, karena sistem politiknya cenderung ke arah sosialis maka sistem kesehatan yang digunakan juga didominasi oleh Social Health Insurance atau asuransi kesehatan sosial.
Pada sistem ini, semua orang yang sudah mempunyai penghasilan (kelompok usia produktif) diwajibkan membayar premi asuransi kesehatan. Biasanya langsung dipotong dari pendapatan. Buat mereka, haram hukumnya gak punya asuransi kesehatan. Karena, biaya ke dokter di negara maju ini sangat mahal.
Jadi, semua orang diwajibkan untuk punya asuransi kesehatan.
Apakah ada orang-orang yang dibebaskan dari premi? Tentu saja ada.
Kelompok veteran (pensiunan), anak-anak, orang yang gak punya kerja, orang yang tidak mampu dst, dibebaskan dari premi tapi masih dijamin oleh asuransi kesehatan.
Prinsip dari Social Health Insurance ini adalah: ‘Mereka yang mampu bayar (kelompok usia produktif), menanggung beban kesehatan mereka yang tidak mampu bayar.’
Secara logika, ini adalah sistem kesehatan yang adil. Ya kan?
Bagaimana kesan saya selagi jadi pasien di negara tersebut?
Untungnya, selama di Belanda (3 bulan lebih) saya jarang sakit. Atau paling sakit ringan yang gak perlu ke dokter.
Tapi waktu di Denmark, pernah saya lumayan sakit (sakit koq bisa lumayan) sehingga merasa perlu ke dokter.
Caranya: di Denmark semua orang punya kartu tanda pengenal (semacam KTP) yang bisa dipakai untuk kartu berobat ke dokter. Kartu ini multifungsi, juga bisa dipake untuk buka tabungan di bank, atau pinjam buku ke perpustakaan, atau buka nomor kartu SIM telefon. Jadi nomor identitas yang ada di kartu ini identik dengan nama kita sendiri. Pada saat kita nelefon dokter untuk bikin janji – nomor identitas inilah yang harus disebutkan.
Owhya, dokter yang bisa mengobati juga hanya dokter tertentu yang tinggalnya dalam wilayah tempat tinggal kita. Dan harus didaftar sebelumnya. Jadi seperti dokter keluarga ASKES lah kurang lebih.
Selanjutnya, saya tinggal datang ke tempat praktek dokter tsb (dekat rumah, jalan kaki hanya 7 menit) sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Lalu menyebutkan nama saya dan nomor identitas. Juga menyertakan kartu saya tentunya. Nunggu sekitar 10 menit karena masih ada 1 pasien anak. Gak berapa lama dipanggil oleh dokternya.
Asik juga karena selain tempat praktek deket dan gak usah tunggu lama, dokternya tertarik untuk ngobrol-ngobrol. Juga dia menyarankan pemeriksaan penunjang dan tes darah. Dibuat lembar referal untuk tes darah ke laboratorium.
Semua konsultasi dan pemeriksaan penunjang tersebut GRATIS, alias gak bayar.
Kenapa bisa, karena sistem kesehatan sosialis itulah. Dipotongnya tentu dari pajak.
Pajaknya juga gak tanggung-tanggung. Sistem pajak yang dianut adalah Progresif (sama seperti di Indonesia, hanya di Denmark pengelolaannya jelas dan tanpa korupsi 🙂
Tapi tentu aja walaupun pajak yang dipotong bisa sebesar 40% dari pendapatan, tapi penduduk Denmark dan Belanda lebih bisa merasakan ‘hasil’ dari pajak daripada di Indonesia. Seengga-engga, saya pendatang sementara, sudah bisa merasakan hasil pajak mereka, yaitu fasilitas dan layanan publik yang nyaman termasuk layanan kesehatan.
Itulah sekilas yang saya pelajari saat menempuh program master, dalam bidang international health (yang juga termasuk bidang public health).
Dan sampai saat ini saya yakin, Indonesia sebenernya gak (cuman) butuh lebih banyak dokter atau tenaga kesehatan saja, tapi juga praktisi di bidang ilmu kesehatan masyarakat.
Lihat saja di sekeliling kita, masih banyak pekerjaan rumah yang bisa ditangani pakar bidang ilmu kesehatan masyarakat/ public health : menangani sampah/ waste management, promosi gaya hidup sehat (kampanye anti rokok, pola makan sehat, anti junk food), penyediaan trotoar di jalan (supaya orang yang jalan gak ketabrak motor/ mobil!).
Bisa dibilang itu semua bukan pekerjaan yang sepele, bahkan kalau liat kondisi Indonesia sekarang, ini adalah sebuah tantangan bagi praktisi ilmu kesehatan masyarakat.
Buat saya, pekerjaan itu menarik kalau ada tantangannya. Dan itulah sebabnya public health sebenarnya ilmu yang sangat menarik dan applicable!
Juga saya harapkan akan lebih banyak orang (baik dengan latar belakang medis atau bukan) yang lebih mendalami bidang ini.
Seengga-engganya kalau Indonesia mau semakin maju dan sehat, harus lebih banyak praktisi di bidang ini. Bukan cuman dokter doang yang dibutuhkan.
Lagian, dokter juga manusia . . .
Calculate your HIV risk !
Ingin tau seberapa besar resiko kita terkena HIV ?
Resiko setiap orang terkena HIV berbeda, perempuan lebih rentan untuk terkena dibandingkan laki-laki karena biasanya perempuan menjadi pihak yang receptive (menerima).
Lelaki yang melakukan seks yang sifatnya receptive (anal sex, blow job) juga mempunyai resiko lebih besar dibanding lelaki yang melakukan seks bersifat insertif (memasukkan).
Jumlah banyaknya pasangan atau mempunyai pasangan seks yang sering melakukan hubungan seks berganti-ganti partner (terutama tanpa pengaman/kondom) tentu saja menambah resiko.
Tempat dimana kita tinggal (negara) juga menentukan prevalensi (banyaknya angka kejadian) kasus HIV, yang bisa menentukan besar kecilnya resiko terkena HIV.
Buat yang penasaran . . . . . . . . silakan mencoba !
” Semua dapet untung kalau sehat”
Lokakarya Nasional HIV dan AIDS
Tanggal 7 Desember 2009 (hari pertama) : Intervensi Struktural
dr. Nafsiah Mboi (Sekretaris KPA Nasional)
– Perubahan situasi epidemiologi HIV di Indonesia : dimulai dari prevalensi HIV yang terkonsentrasi dalam high risk population ke semua kelompok populasi (termasuk diantara ibu rumah tangga dari kalangan low risk women, dan anak-anak).
– Perubahan transmisi penularan HIV : pemakaian alat/jarum suntik tidak steril (42%) dan hubungan seksual beresiko (heterseksual : 48% , homoseksual 3,8%) dengan catatan, tren penularan meningkat melalui hubungan seksual antara pelanggan PS dan pasangan tetapnya (istri).
– Intervensi masih belum efektif, dan karena terfokus pada kelompok tinggi resiko, maka banyak yang tidak tercakup dalam program penanggulangan HIV.
Contoh : Penggunaan kondom yg rendah di kalangan pelanggan menyebabkan penularan meluas ke kalangan pasangan seksual (istri, pacar).
– Pendekatan kepada kelompok resiko tingi (PSK,IDUs) masih sporadis dan eksklusif : tidak memberdayakan ODHA, dan tidak melibatkan masyarakat.
Yang dibutuhkan adalah : kemandirian pada komunitas.
➥ Perlunya analisis struktural intern komunitas : kenapa HIV bisa ada dalam suatu populasi dan penanggulangannya juga melihat latar belakang serta sesuai/applicable dengan situasi yang ada.
– Ketimpangan gender dalam masyarakat : Kenapa ada pelanggan, kenapa ada PSK ,ini sangat terkait dengan perspektif gender di masyarakat.
Buktinya adalah 7-9 juta pria masih menganggap wanita adalah barang yang bisa dibeli, dan tidak mau berperan dalam mencegah penularan ini (dengan memakai kondom).
DImana peranan agama dalam hal ini : apakah mengkondisikan wanita sebagai warga negara kelas 2 (boleh poligami), atau menaikkan harkat dan derajat wanita ?
RAN 2010-2014
Intervensi struktural, yang artinya
– Menciptakan lingkungan yang kondusif lewat :
kebijakan yang mendukung (supportive policies) , memberdayakan komunitas, pemakaian kondom , penghapusan stigma & diskriminasi.
Pencegahan HIV lewat jalur hubungan seksual beresiko
Pemakaian kondom 100% sudah dianggap tidak berhasil (respons masyarakat jadi paranoid, menganggap kondom = setuju seks bebas, identik dengan kelompok resiko tertentu)
Sekarang fokus pada : cegah infeksi baru.
Dengan perubahan perilaku, how ?
– mencegah orang menjadi PSK
– mencegah orang beli seks
– jika beli seks, mau pake kondom
Manajemen IMS
Ketersediaan supply (kondom, ART)
Perubahan sosial, ekonomi, politik
Pendekatan holistik, komprehensif, sensitif kultural
Semua pihak harus menyadari dimana peran-nya, dan bagaimana meng-efektifkan peran tersebut.
Contoh : LSM bisa empowering ke populasi kunci (bikin mereka jadi mandiri, bertanggung jawab terhadap kesehatannya sendiri, dan sadar bahwa populasi kunci bisa mengubah epidemi dengan mengubah perilaku mereka).
Mucikari, tukang ojek, dan orang yang terkait bisnis jual beli seks harus sadar mereka akan kehilangan mata pencaharian kalau PSK-nya sakit.
Depnaker bisa kehilangan angkatan kerja kalau banyak orang usia produktif terkena AIDS.
Intinya : “ Semua orang akan dapat untung kalau sehat“.
Penghapusan prostitusi, mengurai masalah penularan penyakit menular seksual
Penghapusan prostitusi bukan jawabannya !
Saat ini prostitusi/pelacuran atau transaksi komersial seks masih dikaitkan dengan penyebaran berbagai penyakit/infeksi menular kelamin, termasuk juga untuk penularan HIV.
Maka tindakan pemerintah untuk menghapuskan prostitusi dinilai tepat.
Benarkan demikian ?
Jawabannya adalah : TIDAK !
Prostitusi sudah terjadi sejak jaman dahulu kala, dan akan selalu ada dalam peradaban manusia.
Munafik lah orang-orang (pemerintah) yang menyangka dengan menghapuskan prostitusi maka akan menyumbang kebaikan pada lingkungan sekitar.
Perlu diketahui, kenapa ada yang namanya prostitusi.
Pertama, manusia adalah makhluk hidup yang membutuhkan seks.
Ini benar adanya, oleh karena itu agama dan kepercayaan membuat suatu institusi yang disebut pernikahan. Ini yang dianggap sah (oleh norma-norma sosial di timur pada umumnya).
Tetapi, bagaimana dengan mereka yang belum menikah tetapi sudah memasuki usia pubertas?
Penelitian dan studi lapangan menyebutkan ada anak-anak muda kita (ya, di Indonesia, bukan di belahan dunia yang lain) memulai hubungan seks pertama dalam usia yang sangat dini. Antara usia SMP atau sekitar 14-15 tahun.
Pada masa ini tentulah belum ada (atau jarang) orangtua atau institusi sosial yang mengizinkan mereka untuk menikah dengan alasan ingin melampiaskan nafsu seksualnya.
Belum lagi pendidikan di sekolah dan di rumah yang tidak pernah (mengganggap tabu) membahas soal seks, sehingga anak-anak muda semakin tidak tahu dan akhirnya mencari tahu sendiri. Praktek yang salah adalah, mereka mencari pada sumber yang salah (yang sangat mudah didapat, internet contohnya) dengan cara menonton tontonan pornografi.
Akuilah, manusia sejak jaman dahulu kala, terutama kaum laki-lakinya, memang ngefans sama yang namanya pornografi.
Mau dilarang atau tidak, ini adalah industri yang marak di berbagai belahan dunia.
Praktek selanjutnya adalah, mengaplikasikan teori pornografi tersebut.
Ini sangat wajar dalam perjalanan hidup seorang manusia, bahwa pada suatu titik mereka membutuhkan pelepasan dalam pemenuhan kebutuhan seksual.
Beruntunglah para laki-laki yang gak jelek-jelek amat (atau baik, bermulut manis), mereka bisa mempraktekan teori bagaimana berhubungan seks kepada pacar/cewe yang mau sama mereka.
Juga untuk para lelaki yang not-so-good looking tapi punya uang, UUD- ujung ujungnya duit. Kelompok inilah yang mendorong majunya perekonomian di Indonesia juga. Terutama pada duit yang disumbangkan untuk transaksi jual beli seks.
Balik lagi ke penelitian, penularan dan penyebaran infeksi menular seksual terutama transmisi HIV dapat dicegah jika :
1. Semua klien/ laki-laki yang berhubungan seks dengan wanita (pekerja seks komersil, pacar, pacar sementara, TTM, bahkan istrinya) selalu memakai kondom
2. Semua wanita selalu memakai kondom jika berhubungan dengan laki-laki (pacar, pacar sementara, TTM, bahkan suaminya)
3. Semua pekerja seks (laki-laki, perempuan, maupun waria) selalu memakai kondom jika berhubungan dengan klien/pacar/pasangan seksualnya.
4. Semua pemakai narkoba jarum suntik selalu menggunakan jarum suntik steril, bukan bekas orang lain.
Ini adalah solusi yang sangat mudah, tapi sulit untuk diterapkan !
Salahsatu kesalahan besar, yang sering kita (juga pemerintah) buat adalah, dengan menutup lokalisasi tempat prostitusi/ pelacuran.
Ini sama sekali tidak menyelesaikan masalah.
Pertama, para pekerja seks sebenarnya tetap ada, tapi mereka tidak terpusat (terpencar-pencar) dan lebih susah untuk ditarget oleh kelompok LSM yang ingin memberikan bantuan kesehatan/ dukungan sosial kepada mereka.
Kedua, para klien/ pelanggan laki-laki juga selalu ada, dan mereka lah yang lebih ‘bersalah’ dalam hal penyebaran virus, dengan berpindah-pindah tempat dari satu lokalisasi ke lokalisasi lain. Belum ada undang-undang/ peraturan yang menjaring mereka untuk ikut ‘bertanggung jawab’ mengatasi permasalahan ini.
Kenapa oh kenapa lagi-lagi pelacur yang disalahkan, ditangkap, diperas (padahal mereka jualan seks sering kali karena faktor ekonomi) sedangkan para pelanggan laki-laki bebas berkeliaran dan menularkan HIV kepada istri dan anak-anaknya ?
Kondom.
Adalah cara yang mudah dan sederhana yang bisa diterapkan oleh semua orang.
Mulai dari tukang beca, supir taksi, tukang ojek, anak SMP sampai kuliahan, PNS maupun pegawai swasta, dokter maupun insinyur, semua bisa diajarkan cara memakai kondom dan bisa (mampu) membeli kondom.
Sekarang waktunya kita bertanggung jawab atas diri sendiri.
Pemerintah sudah tidak mampu diandalkan karena kebanyakan urusan.
Stop epidemi HIV sampai disini.
Komentar Terbaru