Anak jalanan :: Salah siapa?

Maret 22, 2012 at 1:59 pm Tinggalkan komentar

Kemarin saya dan ibu saya sedang berkendara menuju suatu tempat, lalu mobil kami berhenti tepat di depan perempatan karena lampu merah.
Muncul seorang ibu peminta-minta dan anaknya (usia sekitar 4-5 tahun) langsung ‘bekerja’ meminta sedekah kepada pengendara motor sekitar.
Ada yang memberi uang kecil, ada juga yang menolak mereka.

 

"anjal di Bandung"

 

Ini adalah sebuah pemandangan biasa, yang dapat ditemukan di banyak perempatan lampu merah di kota Bandung.
Terlebih di perempatan besar di bawah jalan layang dekat tempat Rumah Sakit tempat saya berdinas (perempatan Pasirkaliki – Pasteur) bisa dilihat di sana dalam ‘kondisi normal’ ada gerombolan pengemis anak-anak, kadang ada juga orang dewasa nya, bercengkerama dengan pengamen/ anak jalanan lain, bersama-sama mencari nafkah di perempatan lampu merah.

Beberapa puluh meter dari perempatan itu ada Rumah Sakit milik pemerintah, yang merupakan pusat rujukan layanan kesehatan terbesar di provinsi Jawa Barat.
Disitu jugalah tempat saya dahulu menempuh pendidikan kedokteran dan bertugas sebagai peneliti di bidang kesehatan dan sosial selama beberapa tahun.

Sering saya bertanya-tanya dalam hati, pada perempatan lampu merah di bawah jalan layang itu pastilah banyak dilewati dokter-dokter seperti saya, bahkan mungkin mereka dokter Spesialis yang lebih senior lebih lama lagi lalu lalang di lokasi tsb dan bisa melihat perubahannya seiring dengan bertambahnya waktu.

Apa yang dipikirkan oleh mereka?

Apakah mereka memikirkan, bahwa pertambahan jumlah anak jalanan, pengemis, dan pengamen itu merupakan sesuatu yang wajar karena bertambah juga kesulitan ekonomi?

Atau, mengganggap hal tersebut wajar, karena toh itulah cara mereka mencari nafkah. Dari jalanan dan sedekah orang-orang?

Ataukah ada juga seseorang yang menganggap hal tersebut sebenarnya tidak wajar dan mengusik rasa ketidakadilan, sama seperti yang saya rasakan.

Beberapa tahun terakhir Indonesia merasakan pertumbuhan ekonomi yang signifikan, bahkan termasuk terbesar di Asia Tenggara.
Jumlah orang kaya dan menengah bertambah banyak (bisa kita lihat mall dan pusat perbelanjaan di kota besar selalu ramai hampir setiap hari). Sayangnya ada juga sebagian saudara kita yang hidupnya tidak bertambah baik.

Memang banyak reportase yang mengatakan bahwa pengemis yang meminta-minta di jalan itu belum tentu miskin.
Mereka kadang bisa mendapat penghasilan yang lumayan dibandingkan penghasilan seorang buruh, bahkan cukup untuk membangun sebuah rumah di kampung tempat asal mereka.

Di luar polemik untung-tidaknya berprofesi sebagai seorang pengemis, saya hanya ingin memusatkan perhatian saya pada anak jalanan.

Orang tua mereka mungkin hanya beranggapan anak-anak ini adalah sebuah ‘aset’, dapat membantu mereka mencari nafkah di jalan.
Karena orang umumnya lebih merasa iba dan kasihan kepada anak kecil daripada pengemis dewasa, misalnya.

Selain itu, tanyakanlah pada anak-anak ini.
Jika mereka bisa memilih, apakah ini jenis kehidupan yang mereka inginkan?

Apakah ada seorang anak yang memilih untuk besar di tengah jalan, di antara kepulan asap knalpot, dibawah terik matahari dan dinginnya hujan, dibandingkan anak-anak lain yang seusianya menikmati masa-masa prasekolah bersama saudaranya di rumah, bermain dengan sepedanya, atau belajar dengan cara sewajarnya?

Di mana hati nurani dan rasa kepedihan kita selama ini, mengganggap anak-anak ini adalah salah orangtua mereka, salah pemerintah, atau siapapun juga, selain kita.

Bukankah ketidakpedulian kita juga yang menyebabkan mereka bertambah banyak di jalanan?

Sayangnya, banyak orang memberi sedekah/ uang receh kepada anak-anak ini- HANYA supaya mereka merasa lebih baik dengan perasaan mereka sendiri.

Cobalah berikan uang 1000 rupiah kepada anak Anda, setiap kali dia melakukan sesuatu yang tidak Anda sukai: jika anak Anda memukul temannya, berikan uang 1000.
Saya yakin tindakan Anda memberikan ‘reward’ tersebut akan semakin memperkuat motivasi anak Anda supaya memukul temannya lagi di lain kesempatan.

Sama seperti memberikan uang ke anak jalanan, mereka akan mengerti bahwa orang dewasa ‘mengasihani’ mereka dan juga akan memberikan mereka ‘reward’ atas tindakan meminta-minta ini.
Uang receh inilah yang menjadi alasan bagi mereka untuk selalu turun ke jalan.

Ada banyak cara yang bisa kita lakukan, jika kita mau, tapi memberi uang kecil kepada anak jalanan bukanlah salah satu solusi yang terbaik.
Bisa dibilang ini adalah solusi yang ‘sementara’ untuk mengobati rasa tidak enak di dalam hati kita- karena kita melihat bahwa kita lebih beruntung daripada mereka.

Sebagai seorang petugas kesehatan dan juga praktisi di bidang kesehatan masyarakat, visi saya ingin membangun sebuah program/solusi yang berkelanjutan dan bukan hanya sekedar ‘obat merah’ untuk mengobati penyakit sosial mereka.

Mereka butuh diberi kail dan diajarkan cara memancing, bukan hanya diberi ikan.

Anak-anak jalanan hanyalah ‘anak-anak’ yang juga harus merasakan senangnya bermain, butuh pendidikan, akses terhadap layanan kesehatan, dan kesempatan untuk maju sama seperti anak-anak lainnya.

Kita bisa memilih untuk terus menyalahkan pemerintah karena tidak becus mengurus (atau mengusir) mereka, atau juga melakukan tindakan konkrit untuk menolong mereka ke penghidupan yang lebih layak.

Karena saya seorang wanita dan juga calon ibu, yang suatu saat akan mempunyai anak sendiri- saya bisa merasakan kalau seorang ibu biasanya ingin yang terbaik untuk anaknya.

Rasanya tidak ada seorang ibu pun yang saya kenal, kalau dia bisa memilih, ingin anaknya hidupnya menderita.
Ibu saya bilang, kalau bisa kehidupan anaknya lebih baik daripada kehidupan dia yang susah di jaman selepas kemerdekaan RI.

Atas dasar rasa kepedulian seorang ibu itulah, saya ingin menawarkan program ‘penggratisan’ alat kontrasepsi/KB kepada mereka yang tidak mampu.

Uraian lebih mendetail tentang kenapa bisa gratis dan alasan program ini berfokus pada alat kontrasepsi bisa dilihat di tulisan saya selanjutnya.

Entry filed under: KB atau kontrasepsi, visi. Tags: , , , , .

Tabungan Ibu Alat kontrasepsi :: Perlukah ?

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Blog Stats

  • 177.768 hits

RSS situs AIDS indonesia

  • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

Klik tertinggi

  • Tidak ada